Selamat menatap senja. Di hari yang cukup membuat nyaman segala makhluk. Semoga nyaman ini selalu berkerabat dengan tiap insan.
Mungkin ini yang namanya kenikmatan. Yang akan dirindukan di satu atau dua tahun yang akan datang. Entah mengapa, beban yang teramat berat ini tak membuat aku menyerah. Mungkin ini yang namanya konsekuensi. Perjanjian yang telah kubuat sendiri. Perjanjian yang telah kusetujui. Aku meminta, Tuhan memberi. Maka, jadilah seperti kini. Walaupun terseok, aku pantang mengeluh. Pantang menangis. Pantang menyerah. Entah apa yang membawaku ke arah ini. Dengan segala kegundahan hati yang aku pun tak tahu harus kutumpahkan pada siapa kekacauan ini. Sebenarnya aku merasa teramat sendiri. Aku merasa aku terjebak dalam situasi yang aku ciptakan sendiri.
Mungkin hidup akan lebih runyam dari pada ini. Mungkin Tuhan memberi pelajar ekstra kepadaku, Agar aku lebih siap menghadapi ganasnya kenyataan, Ah, Yang penting kini hatiku sedang tersayat teramat. Sudah muak dengan segala intervensi naif. Aku hanya ingin jadi aku yang balita tak pernah ingin mengecap jadi dewasa. Tapi Tuhan telah mempersiapkan aku untuk mengetahui peliknya hidup orang dewasa.
Kata demi kata akhirnya tertuang dalam wadah ini. Aku selalu berharap ada wadah yang bisa menjadi tempatku membuang air mata dan keluh kesah, Aku yakin aku sama sekali belum siap menghadapi peliknya hidup orang dewasa. Aku masih ingin jadi balita yang tak mengerti apa-apa. Yang bebas tertawa tanpa perlu ada yang terluka. Tapi ini semua adalah perjanjian. Ini adalah konsekuensi. Aku juga percaya ini akan jadi sesuatu yang dirindukan dalam satu atau dua tahun yang akan datang. Ini namanya hidup.
Mungkin ini yang namanya kenikmatan. Yang akan dirindukan di satu atau dua tahun yang akan datang. Entah mengapa, beban yang teramat berat ini tak membuat aku menyerah. Mungkin ini yang namanya konsekuensi. Perjanjian yang telah kubuat sendiri. Perjanjian yang telah kusetujui. Aku meminta, Tuhan memberi. Maka, jadilah seperti kini. Walaupun terseok, aku pantang mengeluh. Pantang menangis. Pantang menyerah. Entah apa yang membawaku ke arah ini. Dengan segala kegundahan hati yang aku pun tak tahu harus kutumpahkan pada siapa kekacauan ini. Sebenarnya aku merasa teramat sendiri. Aku merasa aku terjebak dalam situasi yang aku ciptakan sendiri.
Mungkin hidup akan lebih runyam dari pada ini. Mungkin Tuhan memberi pelajar ekstra kepadaku, Agar aku lebih siap menghadapi ganasnya kenyataan, Ah, Yang penting kini hatiku sedang tersayat teramat. Sudah muak dengan segala intervensi naif. Aku hanya ingin jadi aku yang balita tak pernah ingin mengecap jadi dewasa. Tapi Tuhan telah mempersiapkan aku untuk mengetahui peliknya hidup orang dewasa.
Kata demi kata akhirnya tertuang dalam wadah ini. Aku selalu berharap ada wadah yang bisa menjadi tempatku membuang air mata dan keluh kesah, Aku yakin aku sama sekali belum siap menghadapi peliknya hidup orang dewasa. Aku masih ingin jadi balita yang tak mengerti apa-apa. Yang bebas tertawa tanpa perlu ada yang terluka. Tapi ini semua adalah perjanjian. Ini adalah konsekuensi. Aku juga percaya ini akan jadi sesuatu yang dirindukan dalam satu atau dua tahun yang akan datang. Ini namanya hidup.