Bercanda. Siapa sih yang ga suka bercanda. Bercanda itu bisa
bkin kita makin deket sama temen-temen dan sahabat-sahabat kita. Ngga jarang, bercanda
juga bisa bikin dua orang yang belum kenal jadi kenal. Hahaha. Semua orang suka
bercanda. gue juga suka.
But, wait. Ngga semua orang punya selera dan cara bercanda
yang sama. Bahkan sebagian dari kita bisa menyalahartikan bercandaan itu. Hm.
Ini bukan tulisan yang buat dibawa
serius sih, but, gue adalah salah satu
korban bercanda. Bukan korban, guenya aja yang kegeeran wkwk.
Yes, di masa sekarang, semua orang dipaksa untuk membuka
pikiran seluas-luasnya. Tuntutan lah ya. Semua orang punya pendapat, makin
banyak aliran-aliran dan golongan-golongan keagamaan yang menuntut kita supaya
ngga gampang terjerumus. Dunia makin kejam itu kalo kita ngga bisa buka pikiran
kita seluas-luasnya. Coba aja kalo kita bisa buka cara pandang kita, kita pasti
bakal melihat semua fenomena ini sebagai kegiatan dan keanekaragaman sosial.
(Halah malah jadi kesitu)
Jadi ceritanya, ini gue baru baca di salah satu grup
komunitas gue. Jadi, intinya ada seseorang yang ngga terima, kenapa masih ada
cowo yang membiarkan dirinya dibercandain (diceng-cengin, dicieciein) sama cewe yang menyebabkan si cewe malah
baper. Kemudian, salah satu temen gue bilang, “Kaya gitu tuuh cuman bercanda
kok. Buat lucu-lucuan aja”. Di satu sisi gue setuju tapi di satu sisi gue juga
kasian. Ya bayangin aja, perasaan orang kook dimain-mainin. Baper ngga semudah
itu. Susah lho sebenernya buat ngga baper. Apalagi kalo udah dicie-ciein, terus
masih suka ketemu, terus ditanggepin.
Hahaha, kelar hidup w kalo gitu. Yes, it’s happen to me but I already
wake up now. Di sisi lain, mungkin
orang-orang itu butuh hiburan atau menginginkan babak yang lebih seru lagi. Ya,
balik lagi aja ke pemikiran dan ke sikap kita lagi.
Apalagi sekarang banyak banget orang yang make kata umpatan
sebagai bahan bercandaan. Ya, kayanya ini jadi bahan papernya salah satu dosen
gue atau ada di salah satu buku teori
waktu gue kuliah. Fenomena kebahasaan sih, haha. Tapi ini bukan tulisan serius,
oke. Ya, sekarang toh banyak banget orang yang menggunakan kata “Anjing”,
“babi”, “bangsat” sebagai bahan bercandaa. Haha, dari jaman nenek gue masih
pake tanktop juga udah ada kali ya. Tapi bagi sebagian orang akan berpendapat,
“ewh it’s so rude” and then, let’s we go back to our own perspective.
Bercanda itu hak siapa saja dan kebutuhan siapa saja. Akan
tetapi, ada baiknya jika tak menyangkut perasaan orang lain atau membawa
perasaan orang lain dalam candaan. Sungguh deh ya, candaan itu bakal ngga lucu
kalo akhirnya menyakiti hati orang lain. Sebagai orang yang lama hidup di dunia
per-battery-an *anak marching pasti tau*, gue sudah bolak balik dijadikan bahan
bully-an dan sekadar jadi bahan tawaan mereka. it’s okay, but aku selalu
berharap mereka akan merasakan kesakitan yang luar biasa ketika mereka
dijadikan candaan. Bukannya gue dendam, tapi gue yakin kok roda itu berputar.
Mungkin aja gue suka nyakitin orang lain makanya gue disakitinnya begini. Ya
gitu deh, gue mencoba membuka lebar-lebar pemikiran gue. Hal itu juga yang
sebenarnya bikin kita terhindar dari yang namanya baper.
Haha, this is so fuck yeh, omongan gue kemanaa-mana.
Gapapalah, sekali-kali gue curhat pake bahasa begini.
Dan intinya, gue baru tersadar bahwa selama satu tahun ini
kebaperan gue ditertawakan oleh pihak-pihak yang haus hiburan. And now I know
if I baper I lose. Dan jika gue makin baper dan larut dalam kegalauan, i really
fucking loser.
Nah, teman-teman. Buka pikiran kalian. Bercanda (seharusnya)
ada batasnya.