skip to main | skip to sidebar

About me

Foto Saya
Fraintika Anggraeni
Fraintika Anggraeni kerap disapa Weje, Atun, atau Tuk-tuk. Punya persepsi sendiri tentang segala hal, tapi selalu terbuka terhadap persepsi orang lain. Tiap tahun ada masanya. Tiap masa ada tahunnya. Belajar legowo dan terima kenyataan :)
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Komentar
    Atom
Komentar

Kalendar

research paper essay Free Calendar

Clock clock

Archivo del blog

  • ► 2017 (7)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► Januari (5)
  • ► 2016 (13)
    • ► Desember (4)
    • ► April (1)
    • ► Maret (3)
    • ► Februari (2)
    • ► Januari (3)
  • ► 2015 (14)
    • ► September (2)
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (2)
    • ► April (2)
    • ► Maret (2)
    • ► Februari (4)
  • ► 2014 (49)
    • ► November (2)
    • ► Oktober (2)
    • ► Agustus (3)
    • ► Juni (11)
    • ► Mei (4)
    • ► April (11)
    • ► Maret (6)
    • ► Februari (4)
    • ► Januari (6)
  • ▼ 2013 (40)
    • ► November (5)
    • ▼ Oktober (3)
      • KEDUDUKAN DIALEK BANYUMASAN SAAT INI
      • Sore-sore, At Bangjo setelah Hujan
    • ► September (3)
    • ► Juli (3)
    • ► Februari (23)
    • ► Januari (3)
  • ► 2012 (30)
    • ► Desember (1)
    • ► November (11)
    • ► Oktober (6)
    • ► September (12)
  • ► 2010 (2)
    • ► November (1)
    • ► September (1)

Label

  • Cerpen (2)
  • Curhats (30)
  • Informatif (2)
  • Me and My Friends (7)
  • Owl City Lyrics (5)
  • Puisi (11)

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

Info

Rumah Dijual di Bintaro

Pengunjung

27800

Lencana Facebook

Fraintika Anggraeni

Buat Lencana Anda

F R A I ' S

Ketika perkataan bisa berubah di lidah, namun dalam aksara, kata akan tetap sama :)

Kamis, 31 Oktober 2013

KEDUDUKAN DIALEK BANYUMASAN SAAT INI


Fraintika Anggraeni
12/329050/SA/16357
Sastra Indonesia

Abstrak
Artikel ini membahas tentang dialek Banyumasan dan permasalahannya. Tulisan ini juga membahas pembantahan dialek banyumasan sebagai dialek yang terbelakang. Daerah pengguna dialek banyumasan, asal-usul dialek banyumasan, cara menyikapi dan merubah pandangan tentang dialek tersebut pula akan dibahas berdasarkan teori dan pendapat dari berbagai referensi.
Kata kunci: Dialek, Dialek Banyumasan, Ngapak
A.    Pendahuluan

Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan kelompok masyarakat tertentu dalam konteks situasi pemakaian yang berbeda. Sedangkan menurut Panitia Atlas Bahasa-bahasa Eropa dalam Ayatrohaedi adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat yang bertetangga yang mempergunakan sistem berlainan walaupun erat hubungannya. Faktor penyebab perbedaan dialek dengan variasi bahasa yang lain adalah perbedaan fonologi, morfologi, fonetik, semantik. Tempat atau lokasi, perpindahan penduduk dan perubahan lokasi pemukiman, perbedaan status sosial juga termasuk faktor penyebab dialek berbeda dengan variasi bahasa yang lain.
            Ada dua ciri yang dimiliki dialek, yaitu (1)  dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda yang memilikiciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan denganbentuk ujaran lain dari bahasa yang sama. (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Ada beragam dialek di tanah Jawa ini, misalnya dialek Surakartaan, dialek Yogyakartaan, dialek Semarangan, dialek Banyumasan, dan dialek Jawa Timuran. Diantara dialek yang ada, dialek Banyumasanlah yang paling lugu dan yang paling tidak banyak memiliki cengkok baik dalam tata bunyi maupun tata fonemnya. Hal ini dikarenakan cengkok fonemnya tertimpa oleh ketebalan bunyi ucapannya yang kental dan lengket (Herusatoto,  2008:163). Menurut Herusatoto pula, yang memberi istilah Ngapak untuk dialek Banyumasan adalah para priyayi wetanan yang berbahasa jawa mbandhek. Disebut ngapak karena pengucapan vokal a dan o dan konsonan b, d, g, h, k, y, l, dan w sangat mantap, tegas, lugas, dan tidak mengambang (Herusatoto, 2008:6)
            Pepatah mengatakan “Basa Busananing Bangsa” yang berarti  bahasa menunjukkan identitas bangsa, dengan begitu masing-masing tahapan bahasa Jawa membawa perkembangan kebudayaan bangsa. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai bahasa Jawa dialek Banyumasan atau dikenal sebagai dialek ngapak. Pertama, akan menjelaskan tentang daerah-daerah yang menggunakan bahasa jawa dialek Banyumasan, kemudian perbedaan antara bahasa jawa dialek Banyumasan dengan bahasa jawa dialek yang lain, dan permasalahan-permasalahan dialek Banyumasan.
           
B.     Daerah Pengguna Dialek Banyumasan

Dialek Banyumasan atau dialek ngapak digunakan oleh daerah yang letak geografisnya berada di barat Jawa Tengah atau di perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah, yaitu sekitar Tegal, Brebes Cilacap, Kebumen, Kroya dan sekitarnya. Dialek Banyumasan dibagi menjadi empat sub-dialek utama, yaitu Wilayah Utara, Wilayah Selatan, Cirebon-Indramayu, dan Banten Utara.
            Wilayah Utara meliputi Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal. Wilayah Selatan meliputi Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang,  Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purworejo, Kebumen, Gombong. Wilayah Cirebon-Indramayu meliputi Cirebon dan sekitarnya dan Indramayu atau daerah-daerah setempat di wilayah Jawa Barat. Wilayah Banten Utara dituturkan di wilayah Banten yang secara administratif termasuk dalam provinsi Banten.

C.     Perbedaan Bahasa Banyumasan dengan Bahasa Jawa lain

Pada hakikatnya, bahasa Jawa dialek banyumasan tidak banyak berbeda dengan dialek lainnya. Ciri khas dari dialek ini berkembang hanya di wilayah sekitar Banyumas. Namun, dialek Banyumasan mempunyai kekhasan sebagai wahana budaya masyarakatnya yang tidak dimiliki oleh bahasa Jawa mbandhek. Sejumlah leksikon, struktur fonemis, dan intonasi dialek Banyumasan yang khas merupakan unsur-unsur yang dapat dibanggakan. Dialek ini memiliki karakter lugu, terbuka, dan apa adanya, mendapat pengaruh dari bahasa Jawa kuno, Jawa Tengahan dan bahasa Sunda, pengucapan konsonan di akhir kata dibaca tegas, mantap, dan jelas hal  ini yang menyebabkan bahasa Jawa dialek banyumasan disebut ‘ngapak’, pengucapan vokal dibaca tegas, mantap, dan jelas pula.


Contohnya:
Dialek Banyumasan
Bahasa Jawa Baku
Bahasa Indonesia
Inyong
Aku
Saya
Rika
Koe
Kamu
Agéh
Ayo
Ayo
Ndisit
Ndisik
Dulu/Dahulu
Clebek
Kopi
Kopi
Ambring
Sepi
Sepi
Londhog
Alon
Pelan
Dhongé
Kudune
Seharusnya
Gableg
Dhuwe
Punya
Gutul
Tekan
Datang
Kiyé
Iki
Ini
Kuwé
Iku
Itu
















Ciri khas lain dari dialek Banyumasan adalah, jika dalam bahasa jawa pada umumnya akhiran ‘a’ dibaca ‘o’, dalam dialek Banyumasan akhiran ‘a’ tetap di baca ‘a’


Dialek Banyumasan
Bahasa Jawa Baku
Bahasa Indonesia
Aja [αjα]
Ojo [ɔjɔ]
Jangan
Ana [αnα]
Ono [ɔnɔ]
Ada
Lara [lαrα]
Loro [lɔrɔ]
Sakit
Sapa [sαpα]
Sopo [sɔpɔ]
Dulu/Dahulu
Kaya [kαyαɁ]
Koyo [kɔyɔɁ]
Seperti
Apa [αpα]
Opo [ɔpɔ]
Apa
Ya [yα]
Yo [yɔ]
Iya











Alasan yang menjadikan dialek Banyumasan tetap membaca ‘a’ pada akhiran ‘a’ adalah bahasa jawa dengan dialek Banyumas masih terpengaruh bahasa Sunda. Hal itu jelas bisa dilihat dari letak geografisnya, yaitu letak daerah pengguna dialek Banyumasan, berbatasan dengan jawa barat.
            Namun, walaupun sesama dialek Banyumasan atau ngapak, di setiap sub-dialek utamanya pasti berbeda aksen bahasanya. Misalnya, aksen  daerah selatan seperti Cilacap berbeda dengan warna aksen Brebes. Dalam sub-dialek utara dan selatan aksennya lebih tebal dan berwarna jika di bandingkankan dengan aksen Cirebon. Aksen Cirebon lebih menjorok ke aksen Jawa Barat, bahasa yang digunakan pula campuran antra bahasa Jawa dan Sunda.  Bahasa yang digunakan ada perbedaan pula. Jika di daerah Cilacap menggunakan kata kepriwe (bagaimana), di daerah Brebes menggunakan kata kepriben. Jika di daerah Purbalingga menggunakan kata inyong (aku), di daerah Cirebon menggunakan kata insun.

D.    Permasalahan Dialek Banyumasan

Tidak sedikit kaum penutur dialek Banyumasan yang merasa malu, rendah diri dan merasa kuno jika menggunakan dialeknya dalam berinteraksi lintas dialek, dengan penutur Yogyakartaan misalnya. Mereka terkadang menyembunyikan identitas mereka karena tidak ingin dianggap sebagai orang terbelakang, khususnya akum wanita. Mereka merasa paras ayu mereka tidak cocok bahkan tidak pantas jika berdialek dengan dialek ngapak. Mereka akan merasa akan banyak yang mencemooh. Padahal bahasa atau dialek bukan ukuran kemajuan seseorang. Kembali lagi, bahasa merupakan suatu identitas.
            Dewasa ini juga, banyak orangtua yang enggan mengajarkan dialek Banyumasan kepada anak-anaknya, sehingga timbul kekhawatiran akan punahnya dialek ini. Para orangtua di area perkotaan lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya sebagai bahasa yang digunakan di masyarakat umum. Kebanggaan berbahasa, di samping kesadaran norma dan loyalitas bahasa, merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan usaha pemertahanan sebauah bahasa dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal dari masyarakat yang memiliki bahasa dominan (Wijana dan Rohmadi, 2006:90).
            Bangsa Indonesia adalah bangsa multikultur dan multietnik, tidak terdiri satu budaya. Akan tetapi ada banyak budaya yang mewarnai Indonesia, sehingga perbedaan bukan merupakan halangan dan hambatan dalam bersosialisasi. Setiap suku dan etnik memiliki bahasa yang berbeda-beda yang menjadi identitas budaya di daerah tersebut. Perbedaan bukan menjadi pembuat konflik atau upaya saling merendahkan dan menjatuhkan. Justru seharusnya perbedaan menjadi sebuah tali pengikat kebersamaan.
            Bahasa merupakan identitas suatu bangsa.Dimana bahasa itu dipakai dan digunakan dari situlah bahasa tersebut berasal. Bahasa juga merupakan suatu keunikan dan kekhasan yang dimiliki suatu bangsa. Bahasa bersifat arbitrer. Ia mampu menghasilkan sistem budaya baru yang akan menandakan bagaimana budaya tersebut tumbuh dalam masyarakat. Jawa tengah bagian barat memiliki dialek jawa yang khas dibandingkan dengan dengan bahasa jawa standar yang dipakai di wilayah jawa tengah yang lain.
            Bahasa Jawa dengan dialek banyumasan merupakan aset budaya yang nyaris terancam keberadaannya. Banyak orang memandang sebelah mata dialek Banyumasan. Dalam suatu kasus, seorang pengguna dialek banyumasan merasa malu jika ia menggunakan dialeknya di luar lingkup daerahnya. Sebenarnya, tidak perlu berkecil hati atau berendah diri jika memang berdialek Banyumasan. Tidak ada yang salah dengan dialek tersebut. Hal ini dikarenakan dialek adalah sebuah identitas bangsa.

E.     Pertahanan bagi Dialek Banyumasan

Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya modernisasi. Orang-orang menganggap, salah satu bahasa modern adalah bahasa Inggris, sehingga mereka melupakan bahasa Ibunya. Karena Maju mundurnya sutu bahasa tergantung pada tiap pemakai bahasa (Pateda. 1987:25). Itu berarti jika suatu penutur tetap memakai bahasanya secara konsisten dan menurunkannya kepada generasi selanjutnya, bahasa tersebut akan maju. Hal itulah yang terjadi pada bahasa yang dianggap modern dan maju. Bahasa-bahasa tersebut terus menerus dituturkan dan diajarkan agar tidak punah. Bahasa Lokal Indonesia pun bisa, jika penuturnya secara konsisten merawatnya. Untuk mempertahankan dialek Banyumas, kebijakan pembinaan bahasa Jawa, haruslah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi penutur-penuturnya untuk menggunakan dialek Banyumassehingga dialek ini bisa menjadi alat komunikasi yang utama dalam ranah keluarga dan masyarakatdalam pengembangan budaya lokalnya (Mei dalam Wijana dan Rohmadi, 2006:89).
            Anggapan bahwa dialek banyumasan sebagai bahasa kelas bawah dan proletar juga menjadi faktornya. Namun, di balik itu semua, dialek banyumasan merupakan budaya yang harus dilestarikan. Modernisasi dan anggapan tersebut dapat membuat menngerus dan memunahkan aset budaya jawa tersebut. Tugas bangsa Indonesia atau penuturnya adalah tetap mempertahankan eksistensi dialek Banyumasan dengan cara tetap menggunakan dialek tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pemeliharaan sebuah bahasa tidak cukup hanya dengan usaha mendeskripsikan sistem kebahasaan dan wilayah pemakainya, seperti yang telah dilakukan para ahli bahasa selama ini (Wijana dan Rohmadi, 2006:89).  Tidak perlu gengsi atau sebagainya, jika setiap penutur mengedepankan gengsi 20 tahun kedepan dialek Banyumasan akan benar-benar menghilang dari daftar kekayaan budaya Indonesia. Itu berarti dialek Banyumasan menjadi salah satu dari 724 bahasa yang nyaris punah di Indonesia.
            Tidak benar dialek banyumasan adalah bahasa kaum proletar. Untuk menghindari dan merubah pola pikir tersebut, perlu diketahui bagaimana sejarah munculnya dialek tersebut. Logat Banyumasan adalah logat jawa tertua. Dialek Banyumasan masih berkaitan erat dengat nenek moyang bahasa Jawa yaitu bahasa Kawi/Sanskerta, sehingga kata-kata yang digunakan masih sederhana. Dahulu pengguna dialek tersebut memang dari golongan petani, sebelum masuknya masa kerajaan jawaDahulu, bahasa jawa hampir tidak memiliki perbedaan antara bahasa ngoko (sehari-hari) dengan bahasa inggil (penghalusan). Namun, setelah kerajaan memasuki jawa, bahasa jawa mengalami penghalusan, yaitu perbedaan pengucapan antara rakyat biasa dengan keluarga kerajaan tetapi memiliki makna yang sama. Hal tersebut seharusnya dijadikan penghargaan tersendiri sebagai upaya pelestarian dialek Banyumasan.



F.      Simpulan

Tulisan ini hanya membahas sebagian kecil dari permasalahan dialek yang ada di Indonesia, khususnya dialek banyumasan. Dialek Banyumasan harus dipelihara agar eksistensi dan kelestariannya tetap terjaga. Masih banyak permasalahan mengenai budaya di Indonesia yang sudah seharusnya dikupas dan diselesaikan oleh para generasi penerus. Sebenarnya, tidak perlu berkecil hati atau berendah diri jika memang berdialek Banyumasan. Tidak ada yang salah dengan dialek tersebut. Hal ini dikarenakan dialek adalah sebuah identitas bangsa


DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi.1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Herusatoto, Boediono. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Karakter. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara
Keraf. Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia
Pateda, Mansoer.1987. Sosiolingusitik. Bandung: Penerbit Angkasa


SUMBER ACUAN LAIN

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Banyumasan
d.scribd.com/doc/55407547/Makalah-Dialek-Banyumasan

http://bahasa.kompasiana.com/2013/09/04/bahasa-dialek-banyumasan-kesan-bahasa-kelas-2-yang-harus-diluruskan-588677.html
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 12.26

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Nasib bahasa memang paling tergantung pada penyikapan para petuturnya sendiri ya Weje. Dan sampai sekarang, sepertinya saya masih kesulitan kalau mencari kamus bahasa daerah (yang komprehensif) di toko buku (meski sangat boleh jadi para ahlinya 'masih' ada). Oya, saya dengar di daerah Banyumas ada aturan soal penggunaan dialek lokal. Semoga sukses programnya.

6 Februari 2015 pukul 13.48

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod