skip to main | skip to sidebar

About me

Foto Saya
Fraintika Anggraeni
Fraintika Anggraeni kerap disapa Weje, Atun, atau Tuk-tuk. Punya persepsi sendiri tentang segala hal, tapi selalu terbuka terhadap persepsi orang lain. Tiap tahun ada masanya. Tiap masa ada tahunnya. Belajar legowo dan terima kenyataan :)
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Semua Komentar
    Atom
Semua Komentar

Kalendar

research paper essay Free Calendar

Clock clock

Archivo del blog

  • ► 2017 (7)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► Januari (5)
  • ► 2016 (13)
    • ► Desember (4)
    • ► April (1)
    • ► Maret (3)
    • ► Februari (2)
    • ► Januari (3)
  • ▼ 2015 (14)
    • ► September (2)
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (2)
    • ► April (2)
    • ► Maret (2)
    • ▼ Februari (4)
      • Bukan Kata Tetapi Rasa
      • JANGAN
      • Atmosfer
      • Berkemas
  • ► 2014 (49)
    • ► November (2)
    • ► Oktober (2)
    • ► Agustus (3)
    • ► Juni (11)
    • ► Mei (4)
    • ► April (11)
    • ► Maret (6)
    • ► Februari (4)
    • ► Januari (6)
  • ► 2013 (40)
    • ► November (5)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (3)
    • ► Juli (3)
    • ► Februari (23)
    • ► Januari (3)
  • ► 2012 (30)
    • ► Desember (1)
    • ► November (11)
    • ► Oktober (6)
    • ► September (12)
  • ► 2010 (2)
    • ► November (1)
    • ► September (1)

Label

  • Cerpen (2)
  • Curhats (30)
  • Informatif (2)
  • Me and My Friends (7)
  • Owl City Lyrics (5)
  • Puisi (11)

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

Info

Rumah Dijual di Bintaro

Pengunjung

27846

Lencana Facebook

Fraintika Anggraeni

Buat Lencana Anda

F R A I ' S

Ketika perkataan bisa berubah di lidah, namun dalam aksara, kata akan tetap sama :)

Kamis, 19 Februari 2015

Bukan Kata Tetapi Rasa


Jelas hal ini tak bisa kuutarakan begitu saja lewat kata. Bahkan rasanya tak ada yang dapat mewakili satu kesatuan rasa ini. Sama sekali tak ada. Aku ingin seperti ini, tapi aku tak yakin bisa. Aku ingin seperti itu, tapi aku tak yakin rela. Tahun ketiga. Masih saja memendam rasa? Bukan tak ingin. Sering kali rasanya aku menepis semua keinginan dan kembali pada kenyataan. Namun, ah, sukar rasanya. Mulut dapat berkata. Namun rasa tak bisa berdusta. Iya, jelas.

Aku tak ingin berambisi aku ingin dia. Aku cukup tahu diri dan berdoa agar dia selalu diberi kenyamanan dalam hidupnya. Selalu seperti itu. Mengadu pada Tuhan pun malu rasanya. Tak ada yang dapat kuandalkan. Tak ada yang bisa jadi jaminan.

Bukan tak ingin. Ah, keinginan selalu disandingkan dengan egoistis. Siapa yang tak ingin. Bukan porsiku untuk mengharapkannya. Sudah dua tahun rasa ini diaduk-aduk. Entah bagaimana lagi aku harus berbuat. Seolah semua cara telah kugunakan dan kini hasilnya nihil. Lebih baik diakhiri saja.

Hanya satu yang dapat aku lakukan. Hanya mendoakan semoga dia diberikan kemudahan dan kenyamanan. Antara ingin tapi tak bisa menggapai. Bukankah lebih baik memandang dari jauh tanpa melupakan? Karena sesungguhnya, tak ada satu momen pun yang akan hilang dari ingatan.
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 11.51 1 komentar

Rabu, 11 Februari 2015

JANGAN

Jangan menatapku seperti itu, batinku. Bukan apa-apa tapi aku takut aku menyalahartikan sikapmu. Ya. Seperti yang sering kulakukan. Seperti yang sudah-sudah. Aku bukan mudah jatuh cinta. Tapi aku terkadang menyalahartikan sikap. Ia tersenyum lagi. Malah lebih dalam. Hahaha. Kemudian ia tertawa dan mengacak rambutku dengan manis. Dasar. batinku.
"Kau terlihat seperti kucing yang basah kuyup", katanya. Aku malu. Jelas. Terkadang aku menatap dalam matanya. Menelisik sesuatu yang ia pikirkan. Apapun. Ya, terkadang rasa ingin tahunku berlebih-lebih.
"Bagiamana kalau kita menghabiskan sore ini. Mumpung cerah. Kau mau kemana?" Ia menyenggol lenganku
"Terserah saja" jawabku.
"Wanita mana, sih, yang tak pernah menjawab 'terserah' ketika ditanya. Sepertinya, semua wanita di dunia ini selalu mengucapkan kata kontradiktif itu" Ia tertawa renyah lagi
Aku sangat tahu dia. Seseorang yang tak pernah menunjukkan rasa marah atau kesal kepada setiap orang yang bahkan sering menyakitinya. Ia pernah bilang bahwa setiap manusia berhak berbuat sesuatu yang dianggapnya benar. Ia menganggap orang-orang itu benar dan menganggap yang ia lakukan benar. Ya, intinya ia menilai semua orang pasti melakukan hal yang benar, walau sebenarnya salah. Ah, manusia pelik.
"Kalau begitu kita ke kedai es krim saja. Biasanya wanita-wanita suka makan es krim" Ia berjalan kemudian. Ah, tidak semua wanita menyukai es krim. Tapi, karena aku mengatakan terserah, maka, keputusan sepenuhnya ada padanya.
Ia tersenyum lagi. Jangan memandangku dan menatapku sepeerti itu. Kau tahu aku mudah jatuh cinta. Kau juga tahu kita kini sering bersama. Jangan bersikap seperti itu. Nanti semuanya bisa salah pengertian. Aku tak mau memendam banyak luka lagi. Luka yang bahkan aku ciptakan sendiri.
Lalu siang semakin condong ke barat. Senja mulai merayap. Semoga semangkuk es krim nanti bisa mencairkan segala kekakuan yang ada pada kita, ya. Tapi, jangan memandangku seperti itu lagi. Nanti aku jatuh hati.
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 14.37 0 komentar

Selasa, 03 Februari 2015

Atmosfer

Aku menyesap kopi putihku di ruang tengah rumah. Kedua kakiku kuangkat ke kursi. Aku memandangi selembar kertas, bukan kertas juga, sebuah surat, surat undangan pernikahan. Berwarna merah muda dengan lambang hati dan dua merpati di tenganya kemudian di dalam gambar hati terdapat dua huruf inisial kedua pengantin. Undangan lagi, batinku. Ini sudah yang kelima di bulan ini. Musim kawin mungkin. Rasanya enggan datang ke pesta pernikahan lagi, tapi itu adalah pesta pernikahan teman karibku. Pesta pernikahan yang ketiga baginya.  Kupikir ia tak secepat ini untuk menikah lagi.
Lamunanku seketika dibuyarkan oleh dering telepon genggamku. Kulihat, teman karib lainku menelpon.
“Hai, pagi, Jo! Ada apa nih pagi-pagi nelpon?” Kataku dengan nada yang memaksa semangat
“Tumben boo udah bangun. Ntar siang ketemuan, yuk. Dua minggu, Boo, ngga ketemu, sekalian nyari kado buat si Nat. Gue tunggu di tempat biasa ya”
“Hmmm. Jam satu ya. Pagi masih banyak kerjaan” jawabku dengan malas
“Oke deh. Bye, Boo”
Klik
Harus mencari kado untuk pesta perkawinan teman. Ah.
Siang meradang. terik sekali. Namun angin yang berasal dari pendingin ruangan mengalahkan segala terik.
“Kenapa sih lu gamau kawin?” Jovanka menimpailiku yang baru saja menaruh pantat di sofa sebuah kafe. Kafe langganan
“Ngga mau aja. Males. Ngeliat nyokap gue aja ribed banget deh ngurusin idup dan anak-anaknya” Aku berseloroh kemudian mengambil buku menu. Membolak-balikkan. Ah, percuma saja aku membolak-balikkan buku itu. Hasilnya pun aku akan memilih menu yang sama. Aku mendengus. Menhempaskan diri ke sandaran sofa.
“Duh, Boo, kawin itu enak lagi, gue aja ampe tiga kali. Ga betah deh single melele” Seloroh Nat. Dia memang sudad tiga kali menikah. Dua pernikahan sebelumnya kandas dengan alasan tidak cocok. Bukankah pernikahan itu sebuah komitmen? Seharusnya alasan yang demikian itu tidak jadi sebab perceraian, kan? Seharusnya Nat mempertahankannya. Entah caranya bagaimana. Dia memang player.
“Lu sih hobi. Banyak faktor yang bikin gue memutuskan untuk tidak mengikat diri bersama laki-laki. Pertama, kalo lu nikah, kan ga cuma sama si laki-laki aja, tapi sama emak bapaknya, ama adek kakaknya, ama sepupunya, ama uwak bibi pak de bu denya, ama keponakannya dan itu rumit banget lagi”
Lagi-lagi, aku mengatakan hal yang terjadi pada orang tuaku. Pernikahan itu terlalu rumit untuk dijalani. Buat apa menikah kalau ujung-ujungnya ada yang namanya perceraian. Zaman sekarang, perceraian itu seperti permen yang mudah di dapat di warung-warung . Mungkin sepuluh tahun kemudian, tidak aka nada lagi yang namanya ulang tahun pernikahan perak atau emas. Jangankan itu, untuk menikah sepuluh tahun pun rasanya sudah jarang. Dan mungkin sepuluh tahun kemudian, seseorang akan punya lebih dari dua pasang kakek nenek karena orang tuanya bercerai kemudian menikah lagi. Pernikahan itu bukan permainan anak SD yang bisa dimulai dan diakhiri semaunya.
“Ya jangan dipikir rumitnya dong, Boo. Emang lu ngga mau punya anak?”
“Bukannya ngegampangin sih, but, kayanya abege abege sekarang lebih pinter bikin anak ketimbang lu lu yang udah mau masuk tiga puluh lima. So dari pada itu bayi-bayi berujung jadi mayat yang ngga punya kesempatan hidup, kan gue bisa adopsi. Tanpa gue mengikat diri sama laki-laki, gue masih bisa punya anak kan?”
“Lagian lo ga kasian ama anak-anak lo yang orang tuanya bercerai? Mereka jadi korban utama atas keegoisan lo yang mau menikmati kenikmatan dunia sesaat” Aku menambahkan
“Duh, Boo, perasaan lu maen cuman ama kite-kite aja deh. Lu punya pemikiran kaya gitu dari mana sih. Ngeri gue”
“Hahah, sikap kita itu cerminan dengan siapa kite bergaul kali. Iya emang, lu, Jovanka, dan lu Natasya, emang temen gue dari jaman kuliah, tapi semua terjadi sejak negara api menyerang”
Mereka melengos mendengar candaanku yang renyah
“Seriusan kali, Boo” Jo menyeggol lenganku
“Oke serius. Gue memutuskan untuk tidak mengikat diri karena gue ngeliat dulu nyokap gue amat merana setelah menikah untuk yang kedua kalinya. Setelah ditinggal mati bokap, idup doi sih fun fun aja, malah dia keliatan lebih muda dan lebih energik. Tapi setelah ada manusia keparat yang datang ke kehidupan gue dan mengobral janji busuk, gue jadi males punya hubungan ama cowo. Emang sih, dulu gue paling demen banget ngegaet cowo, tapi setelah semua hal itu terjadi, gue ngerasa semua cowo sama. Sama-sama bakal nyakitin walaupun mereka baik. Dan gue yakin, setiap cowo punya sisi berengseknya masing-masing. Tapi gue yakin presentase menyakitinya bakal lebih banyak ketimbang menghargai atau menyayangi wanita”
“Ah lu mah karena belum nyoba aja” Nat menimpali kemudian ia menyeruput jus stroberinya
“Buat apa nyoba? Bukti real terjadi di sekeliling gue. Pernikahan coy masa mau dibuat coba-coba. Janji sehidup semati sama Tuhan. Tapi ujung-ujungnya pisah ranjang dan cerai. Lu aja udah dua kali cerai ama suami lu kan, Nat?”
“Ya kalo lu sayang sama laki lu, kan lu harus merjuangin, Boo” Nat menjawab. Mengapa dia tidak memperjuangkan dua pernikahan sebelumnya? Berarti dia tak sayang dengan lelaki-lekakinya terdahulu, dong.
“Ketika rasa sayang udah ngga bisa ditawar lagi. Dan rasa sayang cuman ada di mulut. Bullshit lah, sekarang aja sayang, ntar pas udah punya anak, badan udah melar semua, rasa sayang laki-laki bakal diobral sana-sini buat nyari yang lebih seksi. Tapi, lo sendiri kenapa ngga merjuangin dua pernikahan lo yang sebelumnya? hahaha” Candaku nampak renyah sekali.
“Gue ngga nyangka, Boo, lu punya pikiran kaya gitu haha, but, gue ngehargain semua keputusan lu sih. Toh, yang ngejalanin hidup kan lu. Tapi kalo mau dikenalin ke cowo yang udah mapan, calling gue aja heheh” Kata Jo
“Buat apa sih menenggelamkan diri di dalam kegelapan? Itu prinsip gue. Bagi gue, laki-laki adalah makhluk kontradiktif. Lain di mulut lain di hati. Udah tau tukang boong, masa masih dipercaya. Lagian, gue juga gamau nantinya kalo gue menikah terus punya anak, anak-anak gue tersakiti dengan sikap bokap-nyokapnya, apa lu juga mau bilang anak itu malah bikin awet perkawinan? Natasya bisa jadi buktinya”
“Intinya, gue bukannya anti ama kalian yang menikah. Gue sangat menghargai kalian kok, kalian masih mau beribadah dan punya niat baik untuk menyatukan dua keluarga jadi satu haha. Ggue cuman ngambil pelajaran dari kalian aja. Dan gue gamau kejadian-kejadian kayak gitu terjadi di hidup gue”
“Lu lebih condong ke parno dan trauma, Boo. Padahal semua laki-laki yang deket ama lu kan ga berengsek-berengsek amat”
“Mungkin lu benar, gue trauma”
Ya, mungkin ketakutan yang sedang menguasaiku. Ketakutan ini yang membuatku memandang semua lelaki sama. Ya, memang taka da manusia yang sempurna. Namun, entah apa namanya, aku sama sekali tak tertarik untuk membuat sebuah hubungan dengan lelaki. Aku hanya ingin menikmati hidupku dengan berteman. Berteman yang sesungguhnya. Karena teman dengan adanya ikatan, ikatan itu jelas akan putus sewaktu-waktu. Harus ada berapa simpul yang terjadi untuk tetap menjaga ikatan itu utuh? Aku tak mau tersakiti. Aku tak mau menyakiti.

Aku melayang dengan semua keputusanku. Diiringgi tawa renyah yang semoga selalu ada untukku, Jo dan Nat. Atmosfer ini semoga tak pernah menyakitiku, teman-temanku, keluargaku, dan semua orang di sekelilingku.
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 15.06 0 komentar

Berkemas


Aku mulai mengemas semua barang-barangku. Rasanya aku ingin meninggalkan salah satu saja di sini agar aku ada alasan kembali kesini. Di sini bukanlah sepenuhnya tempat yang menyenangkan bagiku. Justru sebaliknya. Di sini terekam momen-momen dan saat-saat yang paling sulit bagiku. Bagi Ibuku. Malam makin larut saja oleh dingin. Seperti gula yang perlahan hilang oleh air.
Aku menatap lagi ranselku. Sudah menggembung kini. Dua minggu terasa sekejap sekali. Ah, mengapa aku harus mengalami masa sulit ini lagi. Mengemas. Aku paling benci mengemas. Dalam suasana apapun. Bahkan aku benci dengan kata “mengemas” nya sekalipun. Kadang aku menyesali semua keputusan awalku. Tapi jika tidak begini, keadaan ini tak akan berubah malah cenderung parah.
Malam terakhir di rumah. Seperti biasa, aku tak dapat memejamkan mata sedetikpun. Detik-detik terakhir di rumah adalah momen yang sangat berharga. Sangat sayang jika dihabiskan dengan terbuai dalam palsunya bunga tidur. Selalu hendak menangis jika merasa seperti ini. Tapi, aku harusnya malu dengan semua ucapanku dulu. Aku kini merasa kehilangan saat berharga bersama Ibu. Dia makin tua dan renta. Makin cepat lelah. Ditambah tak ada seorangpun yang menemani kini. Siapa yang tak berlinang air mata kala melihat sang ibunda merana sendiri. Yang kadang terdenagr sehat dan baik jika berkomunikasi via ponsel atau pesan singkat. Ia seolah baik saja. Padahal aku kini sudah dewasa, aku jelas tau apa yang ia rasa dan ia hadapi.
Ya, tapi benar. Ini takdir, ini garis. Ini rel. Kita memang harus berjalan pada jalurnya masing-masing. Walau risau, aku yakin dia akan terus mengembangkan senyum terlebarnya demi anak-anaknya. Apa pun akan diraihnya demi anaknya, bahkan nyawa taruhannya. Walau kadang aku sangat tak setuju dengan itu. Aku masih ingin menghabiskan waktu banyak dengannya dan pasti ingin membuatnya bahagia.
Ah, hanya membayangkannya pun basah sudah pipi ini oleh riak-riak di mata. Padahal sama sekali aku tak ingin melihat wajah ibu karena itu. Karena aku tak ingin berlinang-linang. Cengeng.
Malam sudah menuju pukul tiga. Besok, mungkin aku sudah sampai di tempat tujuan dan bersiap menyambung lagi tali rejeki. Meninggalkan ia yang tak tau minggu depan harus bernaung di mana. Rumah ini sudah diminta yang punya. Meninggalkannya dalam beban yang cukup membuatnya tersengal. Entah mengapa dan ini yang membuatku tak habis pikir, ia bilang “Aku akan baik-baik saja, aku bisa tinggal di manapun. Asalkan kamu tetap tak kepanasan dan tak kedinginan” kata-kata ibu bak api yang menghangatkan es yang menjadikan es melebur. Aku masih pada riak-riak air mata dan rasa pening di kepala.
“Kau belum tidur, Nak?” rupa-rupanya ibuku terbangun. Mungkin karena aku terisak cukup keras. Aku tergesa menyeka air mata
“Aku tak bisa tidur, Ibu. Mungkin tak akan tidur” aku menjawab dengan hati-hati agar suara sengauku tak terlalu kentara. Ia hanya tersenyum dan pergi ke dapur. Aku mendengarnya menyalakan kompor. Mungkin ia hendak sahur untuk puasa sunah besok. Aku juga mendengar suara keran kamar mandi terbuka. Sepertinya ia akan salat malam. Aku masih diam menikmati waktu-waktu terakhir berada di sini bersama ibu dan melihat senyumnya.
Tak selang sepuluh menit ia kembali ke kamarku dengan membawa secangkir teh.
“Di minum, mumpung masih hangat” kata-kata itu selalu akan kurindukan. Ia selalu berkata agar lekas menghabiskan hidangan yang ia masak selagi hangat. Katanya, makanan hangat selalu terasa enak dan nikmat. Ya memang, Bu. Batinku jika ia berkata demikian.
Setelah salat malam, ia kembali ke kamarku. Ia mengecek kemasanku. Takutnya ada yang tertinggal.
“Sudah semua kan? Jangan sampai ada yang tertinggal” katanya. Aku benci kepura-puraan. Aku tau Ibu mengerti menagapa aku masih terjaga sampai sekarang. Namun, seolah ia tak mengerti apa-apa.
“Sana mandi, nanti ketinggalan bis” Aku tau ia pun amat berat meninggalkan aku. Tapi ini namanya jalan.
Aku bergegas menyambar handuk. Air dingin yang menusuk sampai tulang menyadarkanku bahwa ini adalah suratan.
Surya mulai tergelincir menuju pagi. Masih termalu-malu rupanya. Ibu menatapku. Aku memeluk Ibu dalam-dalam, lekat-lekat di ambang pintu.
“Ibu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan telat makan” kataku gemetar
“Aku akan merindukan ibu. Aku tak tahu kapan kita dapat berjumpa dan berkumpul lagi”
“Ibu selalu mendoakan kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaanmu, Nak. Jika padawaktu, kita pasti akan berkumpul  lagi” jawabnya tenang.

Aku mencium punggung tangan Ibu lama-lama, lekat-lekat. Aku bergegas melangkah sebalum mentari menampakkan wajahnya. Pagi ini cukup dingin. Namun aku akan selalu mengantongi kehangatan Ibu.
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 11.56 0 komentar
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod