skip to main | skip to sidebar

About me

Foto Saya
Fraintika Anggraeni
Fraintika Anggraeni kerap disapa Weje, Atun, atau Tuk-tuk. Punya persepsi sendiri tentang segala hal, tapi selalu terbuka terhadap persepsi orang lain. Tiap tahun ada masanya. Tiap masa ada tahunnya. Belajar legowo dan terima kenyataan :)
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Komentar
    Atom
Komentar

Kalendar

research paper essay Free Calendar

Clock clock

Archivo del blog

  • ► 2017 (7)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► Januari (5)
  • ► 2016 (13)
    • ► Desember (4)
    • ► April (1)
    • ► Maret (3)
    • ► Februari (2)
    • ► Januari (3)
  • ▼ 2015 (14)
    • ► September (2)
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (2)
    • ► April (2)
    • ► Maret (2)
    • ▼ Februari (4)
      • Bukan Kata Tetapi Rasa
      • JANGAN
      • Atmosfer
      • Berkemas
  • ► 2014 (49)
    • ► November (2)
    • ► Oktober (2)
    • ► Agustus (3)
    • ► Juni (11)
    • ► Mei (4)
    • ► April (11)
    • ► Maret (6)
    • ► Februari (4)
    • ► Januari (6)
  • ► 2013 (40)
    • ► November (5)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (3)
    • ► Juli (3)
    • ► Februari (23)
    • ► Januari (3)
  • ► 2012 (30)
    • ► Desember (1)
    • ► November (11)
    • ► Oktober (6)
    • ► September (12)
  • ► 2010 (2)
    • ► November (1)
    • ► September (1)

Label

  • Cerpen (2)
  • Curhats (30)
  • Informatif (2)
  • Me and My Friends (7)
  • Owl City Lyrics (5)
  • Puisi (11)

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

Info

Rumah Dijual di Bintaro

Pengunjung

27871

Lencana Facebook

Fraintika Anggraeni

Buat Lencana Anda

F R A I ' S

Ketika perkataan bisa berubah di lidah, namun dalam aksara, kata akan tetap sama :)

Selasa, 03 Februari 2015

Atmosfer

Aku menyesap kopi putihku di ruang tengah rumah. Kedua kakiku kuangkat ke kursi. Aku memandangi selembar kertas, bukan kertas juga, sebuah surat, surat undangan pernikahan. Berwarna merah muda dengan lambang hati dan dua merpati di tenganya kemudian di dalam gambar hati terdapat dua huruf inisial kedua pengantin. Undangan lagi, batinku. Ini sudah yang kelima di bulan ini. Musim kawin mungkin. Rasanya enggan datang ke pesta pernikahan lagi, tapi itu adalah pesta pernikahan teman karibku. Pesta pernikahan yang ketiga baginya.  Kupikir ia tak secepat ini untuk menikah lagi.
Lamunanku seketika dibuyarkan oleh dering telepon genggamku. Kulihat, teman karib lainku menelpon.
“Hai, pagi, Jo! Ada apa nih pagi-pagi nelpon?” Kataku dengan nada yang memaksa semangat
“Tumben boo udah bangun. Ntar siang ketemuan, yuk. Dua minggu, Boo, ngga ketemu, sekalian nyari kado buat si Nat. Gue tunggu di tempat biasa ya”
“Hmmm. Jam satu ya. Pagi masih banyak kerjaan” jawabku dengan malas
“Oke deh. Bye, Boo”
Klik
Harus mencari kado untuk pesta perkawinan teman. Ah.
Siang meradang. terik sekali. Namun angin yang berasal dari pendingin ruangan mengalahkan segala terik.
“Kenapa sih lu gamau kawin?” Jovanka menimpailiku yang baru saja menaruh pantat di sofa sebuah kafe. Kafe langganan
“Ngga mau aja. Males. Ngeliat nyokap gue aja ribed banget deh ngurusin idup dan anak-anaknya” Aku berseloroh kemudian mengambil buku menu. Membolak-balikkan. Ah, percuma saja aku membolak-balikkan buku itu. Hasilnya pun aku akan memilih menu yang sama. Aku mendengus. Menhempaskan diri ke sandaran sofa.
“Duh, Boo, kawin itu enak lagi, gue aja ampe tiga kali. Ga betah deh single melele” Seloroh Nat. Dia memang sudad tiga kali menikah. Dua pernikahan sebelumnya kandas dengan alasan tidak cocok. Bukankah pernikahan itu sebuah komitmen? Seharusnya alasan yang demikian itu tidak jadi sebab perceraian, kan? Seharusnya Nat mempertahankannya. Entah caranya bagaimana. Dia memang player.
“Lu sih hobi. Banyak faktor yang bikin gue memutuskan untuk tidak mengikat diri bersama laki-laki. Pertama, kalo lu nikah, kan ga cuma sama si laki-laki aja, tapi sama emak bapaknya, ama adek kakaknya, ama sepupunya, ama uwak bibi pak de bu denya, ama keponakannya dan itu rumit banget lagi”
Lagi-lagi, aku mengatakan hal yang terjadi pada orang tuaku. Pernikahan itu terlalu rumit untuk dijalani. Buat apa menikah kalau ujung-ujungnya ada yang namanya perceraian. Zaman sekarang, perceraian itu seperti permen yang mudah di dapat di warung-warung . Mungkin sepuluh tahun kemudian, tidak aka nada lagi yang namanya ulang tahun pernikahan perak atau emas. Jangankan itu, untuk menikah sepuluh tahun pun rasanya sudah jarang. Dan mungkin sepuluh tahun kemudian, seseorang akan punya lebih dari dua pasang kakek nenek karena orang tuanya bercerai kemudian menikah lagi. Pernikahan itu bukan permainan anak SD yang bisa dimulai dan diakhiri semaunya.
“Ya jangan dipikir rumitnya dong, Boo. Emang lu ngga mau punya anak?”
“Bukannya ngegampangin sih, but, kayanya abege abege sekarang lebih pinter bikin anak ketimbang lu lu yang udah mau masuk tiga puluh lima. So dari pada itu bayi-bayi berujung jadi mayat yang ngga punya kesempatan hidup, kan gue bisa adopsi. Tanpa gue mengikat diri sama laki-laki, gue masih bisa punya anak kan?”
“Lagian lo ga kasian ama anak-anak lo yang orang tuanya bercerai? Mereka jadi korban utama atas keegoisan lo yang mau menikmati kenikmatan dunia sesaat” Aku menambahkan
“Duh, Boo, perasaan lu maen cuman ama kite-kite aja deh. Lu punya pemikiran kaya gitu dari mana sih. Ngeri gue”
“Hahah, sikap kita itu cerminan dengan siapa kite bergaul kali. Iya emang, lu, Jovanka, dan lu Natasya, emang temen gue dari jaman kuliah, tapi semua terjadi sejak negara api menyerang”
Mereka melengos mendengar candaanku yang renyah
“Seriusan kali, Boo” Jo menyeggol lenganku
“Oke serius. Gue memutuskan untuk tidak mengikat diri karena gue ngeliat dulu nyokap gue amat merana setelah menikah untuk yang kedua kalinya. Setelah ditinggal mati bokap, idup doi sih fun fun aja, malah dia keliatan lebih muda dan lebih energik. Tapi setelah ada manusia keparat yang datang ke kehidupan gue dan mengobral janji busuk, gue jadi males punya hubungan ama cowo. Emang sih, dulu gue paling demen banget ngegaet cowo, tapi setelah semua hal itu terjadi, gue ngerasa semua cowo sama. Sama-sama bakal nyakitin walaupun mereka baik. Dan gue yakin, setiap cowo punya sisi berengseknya masing-masing. Tapi gue yakin presentase menyakitinya bakal lebih banyak ketimbang menghargai atau menyayangi wanita”
“Ah lu mah karena belum nyoba aja” Nat menimpali kemudian ia menyeruput jus stroberinya
“Buat apa nyoba? Bukti real terjadi di sekeliling gue. Pernikahan coy masa mau dibuat coba-coba. Janji sehidup semati sama Tuhan. Tapi ujung-ujungnya pisah ranjang dan cerai. Lu aja udah dua kali cerai ama suami lu kan, Nat?”
“Ya kalo lu sayang sama laki lu, kan lu harus merjuangin, Boo” Nat menjawab. Mengapa dia tidak memperjuangkan dua pernikahan sebelumnya? Berarti dia tak sayang dengan lelaki-lekakinya terdahulu, dong.
“Ketika rasa sayang udah ngga bisa ditawar lagi. Dan rasa sayang cuman ada di mulut. Bullshit lah, sekarang aja sayang, ntar pas udah punya anak, badan udah melar semua, rasa sayang laki-laki bakal diobral sana-sini buat nyari yang lebih seksi. Tapi, lo sendiri kenapa ngga merjuangin dua pernikahan lo yang sebelumnya? hahaha” Candaku nampak renyah sekali.
“Gue ngga nyangka, Boo, lu punya pikiran kaya gitu haha, but, gue ngehargain semua keputusan lu sih. Toh, yang ngejalanin hidup kan lu. Tapi kalo mau dikenalin ke cowo yang udah mapan, calling gue aja heheh” Kata Jo
“Buat apa sih menenggelamkan diri di dalam kegelapan? Itu prinsip gue. Bagi gue, laki-laki adalah makhluk kontradiktif. Lain di mulut lain di hati. Udah tau tukang boong, masa masih dipercaya. Lagian, gue juga gamau nantinya kalo gue menikah terus punya anak, anak-anak gue tersakiti dengan sikap bokap-nyokapnya, apa lu juga mau bilang anak itu malah bikin awet perkawinan? Natasya bisa jadi buktinya”
“Intinya, gue bukannya anti ama kalian yang menikah. Gue sangat menghargai kalian kok, kalian masih mau beribadah dan punya niat baik untuk menyatukan dua keluarga jadi satu haha. Ggue cuman ngambil pelajaran dari kalian aja. Dan gue gamau kejadian-kejadian kayak gitu terjadi di hidup gue”
“Lu lebih condong ke parno dan trauma, Boo. Padahal semua laki-laki yang deket ama lu kan ga berengsek-berengsek amat”
“Mungkin lu benar, gue trauma”
Ya, mungkin ketakutan yang sedang menguasaiku. Ketakutan ini yang membuatku memandang semua lelaki sama. Ya, memang taka da manusia yang sempurna. Namun, entah apa namanya, aku sama sekali tak tertarik untuk membuat sebuah hubungan dengan lelaki. Aku hanya ingin menikmati hidupku dengan berteman. Berteman yang sesungguhnya. Karena teman dengan adanya ikatan, ikatan itu jelas akan putus sewaktu-waktu. Harus ada berapa simpul yang terjadi untuk tetap menjaga ikatan itu utuh? Aku tak mau tersakiti. Aku tak mau menyakiti.

Aku melayang dengan semua keputusanku. Diiringgi tawa renyah yang semoga selalu ada untukku, Jo dan Nat. Atmosfer ini semoga tak pernah menyakitiku, teman-temanku, keluargaku, dan semua orang di sekelilingku.
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 15.06

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod