skip to main | skip to sidebar

About me

Foto Saya
Fraintika Anggraeni
Fraintika Anggraeni kerap disapa Weje, Atun, atau Tuk-tuk. Punya persepsi sendiri tentang segala hal, tapi selalu terbuka terhadap persepsi orang lain. Tiap tahun ada masanya. Tiap masa ada tahunnya. Belajar legowo dan terima kenyataan :)
Lihat profil lengkapku

Subscribe To

Postingan
    Atom
Postingan
Komentar
    Atom
Komentar

Kalendar

research paper essay Free Calendar

Clock clock

Archivo del blog

  • ► 2017 (7)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► Januari (5)
  • ► 2016 (13)
    • ► Desember (4)
    • ► April (1)
    • ► Maret (3)
    • ► Februari (2)
    • ► Januari (3)
  • ▼ 2015 (14)
    • ► September (2)
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (2)
    • ► April (2)
    • ► Maret (2)
    • ▼ Februari (4)
      • Bukan Kata Tetapi Rasa
      • JANGAN
      • Atmosfer
      • Berkemas
  • ► 2014 (49)
    • ► November (2)
    • ► Oktober (2)
    • ► Agustus (3)
    • ► Juni (11)
    • ► Mei (4)
    • ► April (11)
    • ► Maret (6)
    • ► Februari (4)
    • ► Januari (6)
  • ► 2013 (40)
    • ► November (5)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (3)
    • ► Juli (3)
    • ► Februari (23)
    • ► Januari (3)
  • ► 2012 (30)
    • ► Desember (1)
    • ► November (11)
    • ► Oktober (6)
    • ► September (12)
  • ► 2010 (2)
    • ► November (1)
    • ► September (1)

Label

  • Cerpen (2)
  • Curhats (30)
  • Informatif (2)
  • Me and My Friends (7)
  • Owl City Lyrics (5)
  • Puisi (11)

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.

Info

Rumah Dijual di Bintaro

Pengunjung

27871

Lencana Facebook

Fraintika Anggraeni

Buat Lencana Anda

F R A I ' S

Ketika perkataan bisa berubah di lidah, namun dalam aksara, kata akan tetap sama :)

Selasa, 03 Februari 2015

Berkemas


Aku mulai mengemas semua barang-barangku. Rasanya aku ingin meninggalkan salah satu saja di sini agar aku ada alasan kembali kesini. Di sini bukanlah sepenuhnya tempat yang menyenangkan bagiku. Justru sebaliknya. Di sini terekam momen-momen dan saat-saat yang paling sulit bagiku. Bagi Ibuku. Malam makin larut saja oleh dingin. Seperti gula yang perlahan hilang oleh air.
Aku menatap lagi ranselku. Sudah menggembung kini. Dua minggu terasa sekejap sekali. Ah, mengapa aku harus mengalami masa sulit ini lagi. Mengemas. Aku paling benci mengemas. Dalam suasana apapun. Bahkan aku benci dengan kata “mengemas” nya sekalipun. Kadang aku menyesali semua keputusan awalku. Tapi jika tidak begini, keadaan ini tak akan berubah malah cenderung parah.
Malam terakhir di rumah. Seperti biasa, aku tak dapat memejamkan mata sedetikpun. Detik-detik terakhir di rumah adalah momen yang sangat berharga. Sangat sayang jika dihabiskan dengan terbuai dalam palsunya bunga tidur. Selalu hendak menangis jika merasa seperti ini. Tapi, aku harusnya malu dengan semua ucapanku dulu. Aku kini merasa kehilangan saat berharga bersama Ibu. Dia makin tua dan renta. Makin cepat lelah. Ditambah tak ada seorangpun yang menemani kini. Siapa yang tak berlinang air mata kala melihat sang ibunda merana sendiri. Yang kadang terdenagr sehat dan baik jika berkomunikasi via ponsel atau pesan singkat. Ia seolah baik saja. Padahal aku kini sudah dewasa, aku jelas tau apa yang ia rasa dan ia hadapi.
Ya, tapi benar. Ini takdir, ini garis. Ini rel. Kita memang harus berjalan pada jalurnya masing-masing. Walau risau, aku yakin dia akan terus mengembangkan senyum terlebarnya demi anak-anaknya. Apa pun akan diraihnya demi anaknya, bahkan nyawa taruhannya. Walau kadang aku sangat tak setuju dengan itu. Aku masih ingin menghabiskan waktu banyak dengannya dan pasti ingin membuatnya bahagia.
Ah, hanya membayangkannya pun basah sudah pipi ini oleh riak-riak di mata. Padahal sama sekali aku tak ingin melihat wajah ibu karena itu. Karena aku tak ingin berlinang-linang. Cengeng.
Malam sudah menuju pukul tiga. Besok, mungkin aku sudah sampai di tempat tujuan dan bersiap menyambung lagi tali rejeki. Meninggalkan ia yang tak tau minggu depan harus bernaung di mana. Rumah ini sudah diminta yang punya. Meninggalkannya dalam beban yang cukup membuatnya tersengal. Entah mengapa dan ini yang membuatku tak habis pikir, ia bilang “Aku akan baik-baik saja, aku bisa tinggal di manapun. Asalkan kamu tetap tak kepanasan dan tak kedinginan” kata-kata ibu bak api yang menghangatkan es yang menjadikan es melebur. Aku masih pada riak-riak air mata dan rasa pening di kepala.
“Kau belum tidur, Nak?” rupa-rupanya ibuku terbangun. Mungkin karena aku terisak cukup keras. Aku tergesa menyeka air mata
“Aku tak bisa tidur, Ibu. Mungkin tak akan tidur” aku menjawab dengan hati-hati agar suara sengauku tak terlalu kentara. Ia hanya tersenyum dan pergi ke dapur. Aku mendengarnya menyalakan kompor. Mungkin ia hendak sahur untuk puasa sunah besok. Aku juga mendengar suara keran kamar mandi terbuka. Sepertinya ia akan salat malam. Aku masih diam menikmati waktu-waktu terakhir berada di sini bersama ibu dan melihat senyumnya.
Tak selang sepuluh menit ia kembali ke kamarku dengan membawa secangkir teh.
“Di minum, mumpung masih hangat” kata-kata itu selalu akan kurindukan. Ia selalu berkata agar lekas menghabiskan hidangan yang ia masak selagi hangat. Katanya, makanan hangat selalu terasa enak dan nikmat. Ya memang, Bu. Batinku jika ia berkata demikian.
Setelah salat malam, ia kembali ke kamarku. Ia mengecek kemasanku. Takutnya ada yang tertinggal.
“Sudah semua kan? Jangan sampai ada yang tertinggal” katanya. Aku benci kepura-puraan. Aku tau Ibu mengerti menagapa aku masih terjaga sampai sekarang. Namun, seolah ia tak mengerti apa-apa.
“Sana mandi, nanti ketinggalan bis” Aku tau ia pun amat berat meninggalkan aku. Tapi ini namanya jalan.
Aku bergegas menyambar handuk. Air dingin yang menusuk sampai tulang menyadarkanku bahwa ini adalah suratan.
Surya mulai tergelincir menuju pagi. Masih termalu-malu rupanya. Ibu menatapku. Aku memeluk Ibu dalam-dalam, lekat-lekat di ambang pintu.
“Ibu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan telat makan” kataku gemetar
“Aku akan merindukan ibu. Aku tak tahu kapan kita dapat berjumpa dan berkumpul lagi”
“Ibu selalu mendoakan kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaanmu, Nak. Jika padawaktu, kita pasti akan berkumpul  lagi” jawabnya tenang.

Aku mencium punggung tangan Ibu lama-lama, lekat-lekat. Aku bergegas melangkah sebalum mentari menampakkan wajahnya. Pagi ini cukup dingin. Namun aku akan selalu mengantongi kehangatan Ibu.
Diposting oleh Fraintika Anggraeni di 11.56

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod