Aku mulai mengemas
semua barang-barangku. Rasanya aku ingin meninggalkan salah satu saja di sini
agar aku ada alasan kembali kesini. Di sini bukanlah sepenuhnya tempat yang
menyenangkan bagiku. Justru sebaliknya. Di sini terekam momen-momen dan saat-saat
yang paling sulit bagiku. Bagi Ibuku. Malam makin larut saja oleh dingin.
Seperti gula yang perlahan hilang oleh air.
Aku menatap lagi
ranselku. Sudah menggembung kini. Dua minggu terasa sekejap sekali. Ah, mengapa
aku harus mengalami masa sulit ini lagi. Mengemas. Aku paling benci mengemas.
Dalam suasana apapun. Bahkan aku benci dengan kata “mengemas” nya sekalipun.
Kadang aku menyesali semua keputusan awalku. Tapi jika tidak begini, keadaan
ini tak akan berubah malah cenderung parah.
Malam terakhir di
rumah. Seperti biasa, aku tak dapat memejamkan mata sedetikpun. Detik-detik
terakhir di rumah adalah momen yang sangat berharga. Sangat sayang jika
dihabiskan dengan terbuai dalam palsunya bunga tidur. Selalu hendak menangis
jika merasa seperti ini. Tapi, aku harusnya malu dengan semua ucapanku dulu.
Aku kini merasa kehilangan saat berharga bersama Ibu. Dia makin tua dan renta.
Makin cepat lelah. Ditambah tak ada seorangpun yang menemani kini. Siapa yang
tak berlinang air mata kala melihat sang ibunda merana sendiri. Yang kadang
terdenagr sehat dan baik jika berkomunikasi via ponsel atau pesan singkat. Ia
seolah baik saja. Padahal aku kini sudah dewasa, aku jelas tau apa yang ia rasa
dan ia hadapi.
Ya, tapi benar. Ini
takdir, ini garis. Ini rel. Kita memang harus berjalan pada jalurnya
masing-masing. Walau risau, aku yakin dia akan terus mengembangkan senyum
terlebarnya demi anak-anaknya. Apa pun akan diraihnya demi anaknya, bahkan
nyawa taruhannya. Walau kadang aku sangat tak setuju dengan itu. Aku masih
ingin menghabiskan waktu banyak dengannya dan pasti ingin membuatnya bahagia.
Ah, hanya
membayangkannya pun basah sudah pipi ini oleh riak-riak di mata. Padahal sama
sekali aku tak ingin melihat wajah ibu karena itu. Karena aku tak ingin
berlinang-linang. Cengeng.
Malam sudah menuju
pukul tiga. Besok, mungkin aku sudah sampai di tempat tujuan dan bersiap
menyambung lagi tali rejeki. Meninggalkan ia yang tak tau minggu depan harus
bernaung di mana. Rumah ini sudah diminta yang punya. Meninggalkannya dalam
beban yang cukup membuatnya tersengal. Entah mengapa dan ini yang membuatku tak
habis pikir, ia bilang “Aku akan baik-baik saja, aku bisa tinggal di manapun.
Asalkan kamu tetap tak kepanasan dan tak kedinginan” kata-kata ibu bak api yang
menghangatkan es yang menjadikan es melebur. Aku masih pada riak-riak air mata
dan rasa pening di kepala.
“Kau belum tidur,
Nak?” rupa-rupanya ibuku terbangun. Mungkin karena aku terisak cukup keras. Aku
tergesa menyeka air mata
“Aku tak bisa tidur,
Ibu. Mungkin tak akan tidur” aku menjawab dengan hati-hati agar suara sengauku
tak terlalu kentara. Ia hanya tersenyum dan pergi ke dapur. Aku mendengarnya
menyalakan kompor. Mungkin ia hendak sahur untuk puasa sunah besok. Aku juga
mendengar suara keran kamar mandi terbuka. Sepertinya ia akan salat malam. Aku
masih diam menikmati waktu-waktu terakhir berada di sini bersama ibu dan
melihat senyumnya.
Tak selang sepuluh
menit ia kembali ke kamarku dengan membawa secangkir teh.
“Di minum, mumpung
masih hangat” kata-kata itu selalu akan kurindukan. Ia selalu berkata agar
lekas menghabiskan hidangan yang ia masak selagi hangat. Katanya, makanan
hangat selalu terasa enak dan nikmat. Ya memang, Bu. Batinku jika ia berkata
demikian.
Setelah salat malam,
ia kembali ke kamarku. Ia mengecek kemasanku. Takutnya ada yang tertinggal.
“Sudah semua kan?
Jangan sampai ada yang tertinggal” katanya. Aku benci kepura-puraan. Aku tau
Ibu mengerti menagapa aku masih terjaga sampai sekarang. Namun, seolah ia tak
mengerti apa-apa.
“Sana mandi, nanti ketinggalan
bis” Aku tau ia pun amat berat meninggalkan aku. Tapi ini namanya jalan.
Aku bergegas menyambar handuk. Air dingin yang menusuk sampai tulang menyadarkanku bahwa ini adalah suratan.
Surya mulai tergelincir menuju pagi. Masih termalu-malu rupanya. Ibu menatapku. Aku memeluk Ibu dalam-dalam, lekat-lekat di ambang pintu.
Aku bergegas menyambar handuk. Air dingin yang menusuk sampai tulang menyadarkanku bahwa ini adalah suratan.
Surya mulai tergelincir menuju pagi. Masih termalu-malu rupanya. Ibu menatapku. Aku memeluk Ibu dalam-dalam, lekat-lekat di ambang pintu.
“Ibu hati-hati ya.
Jaga diri baik-baik. Jangan telat makan” kataku gemetar
“Aku akan merindukan
ibu. Aku tak tahu kapan kita dapat berjumpa dan berkumpul lagi”
“Ibu selalu mendoakan
kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaanmu, Nak. Jika padawaktu, kita pasti akan
berkumpul lagi” jawabnya tenang.
Aku mencium punggung
tangan Ibu lama-lama, lekat-lekat. Aku bergegas melangkah sebalum mentari
menampakkan wajahnya. Pagi ini cukup dingin. Namun aku akan selalu mengantongi
kehangatan Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar