Pernah suatu kali, aku
mendapati temanku menjalin kasih bersama seseorang yang aku sukai. Huaaah,
lagi-lagi mengenai orang kesukaan. Mungkin sudah sejuta lelaki yang aku sukai,
tapi tak ada yang menghasilkan sesuatu satupun. Sedih bukan, amat sangat.Ya,
suatu kali aku mendapati kenyataan bahwa lelaki kesukaanku menjalin hubungan
dengan temanku, teman baik teramat baik. Pada awalnya, aku mengetahui mereka
hanya saling suka. Iya, hanya saling suka, setiap kemana-mana berdua. Yang paling
aku benci adalah ketika mereka menunggu hujan reda bersama. Walau sepele, semua
orang yang berpasangan pasti ingin menikmati momen hujan berdua. Pasti. Aku
sangat teriris kala melihat mereka menunggu reda hujan berdua. Sampai akhirnya,
via pesan, aku berkata, “Kalau kalian ingin berpacaran, segeralah, agar sakit
yang aku rasa tak setengah-setengah, tak pelan-pelan, biar rasa sakitnya
sekalian. Kamu tunggu apalagi? Kamu mau menyakiti aku lagi? Bukankah yang
perlahan-lahan itu lebih sakit daripada yang sekali tebas?” Itu benar nyatanya,
tak lama, mereka menjalin hubungan walau pada akhirnya, kandas juga.
Ini bukan menguak
kembali ketololanku karena “diserobot” teman sendiri. Bukan. Bahkan kini aku
malah lebih tolol lagi, aku mengalaminya lagi. Haha, tolol sekali bukan? Aku
tak tahu dia sudah mengetahui yang sebenarnya atau belum. Yang pasti, dia
benar-benar menyakitiku, ya kembali ke pernyataan awal, kalau kalian mau
berpacaran, silahkanlah, biar sakitku sekali tebas, tak perlahan-lahan.
Dulu, dia adalah
tujuan. Kini, aku malah enggan. Enggan bertatapan, enggan memberi senyuman,
malah terkesan mengabaikan. Aku harap aku hidup normal kembali pada jalurku,
tanpa mempunyai pikiran bahwa dia dulu pernah menjadi penyemangatku. Aku lebih
baik tak pernah kenal dengannya sama sekali. Aku tak peduli sahabatku
bercengkerama dengannya sedangkan aku tidak. Aku tak peduli. Bahkan jika aku
meninggalkan rutinitasku hanya untuk tak bertemu dengannya, aku akan
melakukannya. Terlalu banyak sakit hati yang ditabur, walau sesungguhnya dia
tak pernah sadar dan tahu. Ini bukan sepenuhnya kesalahan dia. Bisa jadi dia
tak punya kesalahan sama sekali. Namun, oknum-oknum bangsat itu nampaknya
sangat bahagia jika aku ditertawakan di depan banyak orang nantinya. Aku harap,
aku benar-benar bisa melupakannya. Bisa membencinya. Karena lebih baik benci
daripada menghibur diri dengan berkata “aku tidak apa-apa” Aku berusaha tidak
munafik. Kamu telah banyak menyakiti. Ah, kadang aku menyesal telah mengakatan
semuanya. Kepada semuanya, walau ini juga kecerobohanku. Aku menyesal. Amat sangat.
0 komentar:
Posting Komentar