Untuk bisa bersamamu adalah hal yang mustahil. Aku pernah
mengatakan hal ini tempo hari. Akan
tetapi kau mengatakan bahwa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bisa
saja ada sesuatu yang bisa membuatku jatuh kepadamu. Kemudian pernyataanmu
seolah didengar dewi fortuna, maka jatuhlah aku kepadamu dan cukup sulit untuk
keluar dan menyelamatkan diri.
Aku tak pernah menyangka bahwa aku akhirnya jatuh kepadamu,
sosok yang sama sekali hanya aku kenal tidak lebih dari permukaannya saja. 2013
dan 2014 berlalu, dan kita habiskan dua tahun sebagai teman main yang tidak terlalu dekat dan
akrab. Aku hanya mengenalmu sebatas nama walau seringkali kau bercerita namun
sejatinya, dahulu, aku tidak terlalu tertarik dengan semua ceritamu. Aku hanya
mengenalmu di permukaan. Kau bukan orang yang mudah akrab denganku begitu pula
aku. Dua tahun, kau bukan sosok yang aku cari. Bukan pula orang yang membuat aku mencari.
Lagi-lagi, kau hanya sebatas teman mainku yang tidak terlalu kutahui sosoknya.
Aku cukup dikenal banyak orang. Aku cukup mengenal banyak
orang. Namun suatu hari kau terpilih menjadi salah satu pemimpin acara, aku
tidak pernah menyangka. Apakah kau bisa? Aku tak pernah mendengar namamu di
suatu acara sebagai pemimpin. Aku sangsi waktu itu.
Namun, dengan segala kekuranganmu, ternyata kau bisa. Bahkan
kau meraih lebih. Mendapat berkali lipat. Aku langsung jatuh begitu saja. Jatuh
kepadamu, kepada tawa renyahmu, pada candaan anehmu, dengan semua yang ada
padamu.
Satu hal yang membuat aku tak boleh larut padamu. Ada unsur
yang membuat aku dan kau tak bisa lebur jadi satu. Aku tak pernah mau
mengatakannya, karena ini sungguh menyakitkan. Tak pernah sebelumnya aku
sebingung dan setak rela ini. Aku tak pernah bisa berjalan beriringan denganmu
karena sesuatu.
Selama dua tahun ini,
aku hanya menebak dan menebak. Bertaruh dan bertaruh tanpa tahu pasti apa yang
ada di pikiranmu saat itu. aku rasa hanya aku yang memendam. Hanya aku yang
menaruh harapan. Aku mencoba berdamai dengan pikiranku dan berusaha menyadarkan
diri bahwa aku tak akan pernah bisa berada bersamamu. Aku terus meyakinkan hati
bahwa aku harus pergi dan bangkit sendiri.
Pernah kuutarakan, namun kau tak memberi tanggapan. Aku
makin bingung dan gamang. Sebenarnya bagaimana ini? Aku masih selalu bersamamu
dan menghabiskan malam bersamamu. Bagaimana bisa aku menggantungkan
harapan tanpa kepastian selama ini,
walaupun aku dan kau adalah hal yang tak pernah pasti.
Dan kemudian suatu hari, kita membahasnya. Perasaanku adalah
senang. Akhirnya kita membicarakan hal ini. Walau hasilnya adalah tidak, namun,
kau memberi aku seutas tali untuk aku mengambil keputusan antara bangkit atau
menjatuhkan diri lebih dalam lagi. Mau tak mau aku bangkit sendiri dank au
serasa kembali dengan masa lalumu.
Kini aku akan kehilangan sosokmu. Sosok yang sangat
membuatku nyaman, sosok yang suka kupandang, sosok yang menenangkan, sosok yang
bisa menjagaku. Ah, tapi itu hanya spekulasiku. Kau tak selamanya memikirkanku
dan aku bahkan sama sekali tak ada di pikiranmu. Aku terlalu kecil dan tertutup
oleh bayang masa lalumu yang sekiranya bisa menjanjikan.
Aku hanya debu di atas album fotomu. Aku bisa dengan
mudahnya kau singkirkan dan kau hilangkan dan
kau kembali membuka memori dengan masa lalumu. Bagian itu adalah bagian
yang paling menyakitkan yang pernah aku dapatkan selama mengenalmu. Walaupun kau sejuta kali
berkata tidak, namun rasanya pasti sulit untuk dilupakan. Kau masih berharap
dan masa lalumu lebih mengharapkanmu
dari pada aku.
Tak lupa aku selalu curiga saat kau pergi dan membawa serta
ponselmu. Hm. Kecurigaanku tak pernah berbeda. Berkali-kali kau membuatku
berspekulasi sendiri dan cemburu sendiri. Aku selalu takut ketika ada yang membuatmu lebih nyaman.
Aku selalu iri dengan orang-orang yang bisa membuatmu tertawa. Aku selalu takut
jika keberadaanku hanya mengganggumu. Aku juga takut jika aku sebenarnya tak
benar-benar ada di pikiran dan di hatimu.
Jangan dikira aku baik-baik saja. Walaupun tampaknya aku
akan selalu bercanda dan tertawa, tapi ada luka yang cukup menganga. Sebab
banyak hal yang tidak bisa aku raih nalarnya. Sebab aku hanya manusia yang
selalu meminta dan berharap semua keinginan jadi nyata. Di sisiku yang lain, aku punya pemikiran
bahwa, tidak selama yang aku inginkan adalah baik, baik untukku maupun untuk yang
lain.